Rabu, 30 September 2015

Perihal Berpisah



            Musim ini, tiba-tiba Lin ingin sekali sendirian. Mengurung gundah yang mungkin saja bisa membuatnya kembali cerah. Tentang penarikan undangan, pembatalan WO, blacklist baju pengantin, dan tak pernah ada yang namanya pernikahan – semua dia timbun dalam-dalam. Bukan di hatinya, tapi dalam kenangan. 

          “Maaf aku takut salah melangkah. Karena itu aku ragu untuk menapaki tanah yang berbeda, tanah yang baru.” Pesan singkat itu dia kirim pada calon suaminya. Calon suami yang sebulan lagi akan sah dan halal mendampinginya. Tak ada yang salah dengan lelaki berdarah Jawa itu, lelaki yang menganut paham kesopanan dan kelembutan yang gagah. Hanya saja, seminggu yang lalu, ketika dia mencari gunting di laci kamar ibunya, ketika itu album merah muda dengan corak bergambar hati tak bisa dia abaikan begitu saja. Lin meraihnya, membukanya, dan menahan air matanya.

            Sebuah foto usang pernikahan ayah dan ibunya. Kebaya putih yang pernah memerihkan hati ibunya. Polesan bedak tebal yang pernah memoles cinta dengan begitu anggun. Lin meraba wajah ayahnya. Lelaki yang dulu dan hingga sekarang begitu asing baginya. Bahkan untuk memanggilnya dengan sebutan ayah pun, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Padahal lelaki itu ialah lelaki yang (masih) mengalirkan darah yang sama dengannya. 

            Lin mengingat suatu pertemuan dengan ayahnya. Padahal dia ingin sekali melupakan. Namun terlanjur percaya kalimat orang bijak, semakin besar engkau melupakan sesuatu, maka semakin besar pula engkau akan mengingatnya. Dan Lin pun menggangguk setuju. 

            Ketika itu, Mei belum sempurna berakhir. Masih tersisa episode April yang anyir, tanggal yang terbirit tunggang langgang, jam-jam yang berdetak tunggal, dan menit yang sesekali berderit lengang. Semua masih Lin ingat. Begitu jelas merayap. Barangkali, ya, barangkali memang benar. Lin menghela napas dalam-dalam, April baginya ialah bab sunyi yang tak pernah lekang. Bab sunyi dengan tiga cangkir teh hangat di depannya. Satu untuk dia sendiri, satu untuk lelaki bersarung coklat, dan sisanya milik ayahnya. Sebenarnya ada ribuan alasan kenapa dia harus duduk sedekat itu dengan ayahnya. Namun jiwanya selalu merajuk tentang kehilangan dan terlupakan. Di antara dia dan ayahnya, sebenarnya siapa yang telah kehilangan? Pertanyaan itu selalu mengepul bak asap tungku yang membuat perih mata. Pertanyaan itu memang selalu mengepul bak asap tungku yang mengundang perih di lukanya yang tak pernah kering. Ayahnya kah yang telah kehilangan buah hati dengan segala rengekan manja itu? Atau malah dia yang benar-benar kehilangan dekapan hangat ayahnya? Dan siapa yang melupakan siapa? Atau mereka memang saling melupakan? Maka, untuk tapak kakinya yang telah berani melangkah ke rumah itu, dengan mantap harapannya selalu merayap – semoga, dan semoga, semoga dia dan ayahnya saling kehilangan satu sama lain. Semoga rasa kehilangan ada dan dimiliki oleh keduanya. Semoga dalam diam, kesunyian yang selalu teraba lewat do’a, diam-diam mereka saling mengingat.

            “Minumlah selagi teh ini masih hangat.” Tiba-tiba suara lelaki bersarung coklat membangunkan lamunannya yang hampir lelap. Wajahnya seperti kecemasan yang belum tuntas ketika membersamai sosok imam yang seharusnya memang seatap. Lin melihat ke  arah muasal suara itu dilepaskan – lelaki bersarung coklat tersenyum. Senyum yang sungguh, ingin sekali Lin gunting kecil-kecil. Namun entah, kepalanya lebih dahulu mengangguk pelan. Dan kemudian diambilnya secangkir teh yang katanya masih hangat itu, diteguknya sedikit. Namun lidahnya terasa pahit. Dia butuh beberapa sendok gula lagi. Dia butuh rasa manisnya di tengah perbincangan itu. 

            Ayahnya serupa bangkai kapal yang menahan aksara, padahal saksi sejarah selalu memaksanya untuk terbuka. Sesekali diteguknya teh itu dari tangan kanannya. Sesekali dilihatnya bayi yang dulu pernah dia larikan setelah sembilan bulan terpenjara dalam rahim mantan istrinya, namun gagal dia bawa pulang. Sesekali dipasangnya dengan tepat telinga kanan-kirinya untuk menyelinap pada perbincangan antara lelaki bersarung coklat dan bayinya yang telah beranjak dewasa.

            “Apa yang telah membawamu kesini?” suara itu kini Lin hafal muasalnya.
            “Kehilangan.”
            “Hanya itu?”
            “Sosok imam.”
            “Terus?”

            Tak ada jawaban lagi dari mulut Lin, padahal yang ingin sekali keluar adalah, “dilupakan dan terlupakan juga telah membawaku kesini.” Namun keganjilan di lidahnya adalah kesalahan yang sangat fatal. Keganjilan yang mengajaknya untuk menggelengkan kepala. “Tak ada.” Jawabnya begitu bersalah. Pada dirinya sendiri dan waktu yang terus melahap tik tok jarum jam. 

            Lelaki bersarung coklat tertawa, tawa yang meringis. Tawa yang mengiris. Ayahnya tersenyum, senyum yang kecil. Senyum yang getir.
            “Rupanya kamu masih ingat siapa ayahmu, siapa aku, dan siapa kita, kan?” lelaki itu diam sejenak seperti sedang mengambil napas, namun juga seperti menggali kenangan, “saat itu kamu masih bayi yang hanya bisa menangis saja, saat itu juga kesalahan tak sepenuhnya harus dilimpahkan pada ayahmu. Ada orang-orang yang membuat ayah dan ibumu seperti air dan daun talas.”

            Ah, masa lalu yang sudah masa bodoh itu. Seharusnya lelaki bersarung coklat menimbunnya saja tanpa harus menggali ulang segalanya yang telah rata bersama tanah. Batin Lin mengutuk.
            Sebab bagi Lin, telinganya tak cukup menampung gundah, kekalutan, resah yang memerah, masa lalu yang lebam ungu kebiruan, segala luka yang seharusnya telah disembuhkan. Ketika di timur, nama ayahnya ialah gunjingan rasa bersalah. Kembali ke barat, nama ibunya selalu menguap menjadi sebab. Ketika utara mungkin menyediakan tempat, ternyata nama keduanya saling dibenturkan. Jadi, Lin harus percaya siapa? Yang mana? Sementara hati Lin selalu mengirim sinyal pada telinganya untuk memasang tuli pada segala luapan salah itu ditimpakan, baik kepada ayah maupun ibunya. 

            Dan saat ini, ketika lelaki itu berkoar-koar tentang siapa yang tepat ditimpakan label salah, hati Lin mengirim sinyal pada telinganya untuk siap memasang tuli dengan tepat. Karena bagi Lin, keputusan untuk tidak bersama adalah kesalahan yang juga diolah bersama – oleh ayah dan ibunya. Jika tidak ada api, tak mungkin kebakaran itu tersulut serius. Jika tak pernah ada hujan, tak mungkin tanah-tanah itu basah. Maka tak mungkin jika tidak pernah ada kesepakan untuk saling berpisah. 

            “Mungkin garis tangan lebih berpihak demikian – perpisahan, sebuah jarak dengan semak yang belukar dan dinding dingin yang menjulang. Ya, semoga apa yang memerihkan ayah dan ibumu hanya berhenti di hati keduanya saja. Semoga kebahagiaan dalam pernikahanmu kelak adalah mimpi yang ayah dan ibumu pernah rancang.”
            Kalimatnya menguap di udara, di ubun-ubun kepala Lin yang mulai hangat. Lalu kata terakhirnya ialah jawaban luhur yang ingin dia sampaikan dari bawah kolong bumi ini pada Sang Pemilik Segalanya; aamiin.
            “Datanglah sesukamu. Pintu ini tak pernah terkunci untukmu.”

            Lin mengangguk. Namun ayahnya masih saja menjelma serupa bangkai kapal yang begitu khidmat menjadi pendengar.
            “Ayah..” Duhai, ada duri yang menusuk lidahnya ketika panggilan asing itu ditiupkan. Panggilan yang seharusnya terucapkan sejak dia telah mengenal kata. Dari seberang, ayahnya melihat tepat ke wajahnya. Di mata ayahnya, aksara itu tak seharusnya hanya mendekam saja. Ayolah katakan apa saja, tentang rindu yang mungkin telah lama kamu pasung, tentang kehilangan yang begitu memar, tentang melupakanku, langkahmu yang selalu gontai untuk menemuiku sejak dulu, perhatian yang belum pernah kamu genapi, kasih sayang yang belum lunas, juga tentang ribuan jarak yang sebenarnya ingin kamu sumpal mulutnya. Ayo katakan Ayah.  Suara batin Lin berloncatan dari nanar matanya yang basah.

            “Bicara melupakan, kita tidak akan melupakan jika sebab musabab rasa sakit itu tak pernah kita ingat. Bicara kehilangan, kita tidak akan pernah kehilangan bila rasa memiliki itu tak pernah ada. Sedang ayah selalu ingat rasa sakit itu dan rasanya ayah belum pernah memilikimu sebelumnya.”
            Tak ada yang tahu setelah kalimat ayahnya itu diucapkan, sebenarnya air mata Lin mengucur dan turun satu-satu, bukan di kedua matanya, tapi di hatinya. Rasa sakit itu begitu pelik. Padahal pada penutup pertemuan ini, Lin meyakini satu kesimpulan, satu jawaban, dan satu-satunya akhir yang belum berakhir; rasa kehilangan dan saling mengingat juga menghuni kediaman ayahnya, bukan hanya kepada Lin saja. 

            Diteguknya lagi teh di depannya, tegukan terakhir untuk segala tebakannya yang keliru. Merah kecoklatan di dalam cangkir itu serupa air matanya, air matanya yang banyak menyimpan tanya, namun jawaban seperti bangkai kapal di wajah ayahnya – kesunyian yang membuat sakit telinga. Dan hukum sebab-akibat itu selalu dia percaya, mengapa musim ini tiba-tiba dia ingin sekali sendirian. Mengurung gundah yang mungkin saja bisa membuatnya kembali cerah. Tentang penarikan undangan, pembatalan WO, blacklist baju pengantin, dan tak pernah ada yang namanya pernikahan – semua dia timbun dalam-dalam. Bukan di hatinya, tapi dalam kenangan. Sebab perpisahan selalu menahannya untuk hati-hati melangkah, dan akibatnya dia ragu untuk memulai sesuatu yang baru. Perpisahan kedua orang tuanya, keraguan dirinya untuk meretas pernikahan. Namun kali ini, dia akan segera mengubur dalam-dalam segalanya tentang kegagalan. Tentang penarikan undangan, pembatalan WO, blacklist baju pengantin, dan tak pernah ada yang namanya pernikahan – dia akan menggelengkan kepalanya pada keputusan yang belum sempurna bulat itu. Diambilnya hp yang tergeletak di atas meja, dipilihnya kontak calon suami yang pernah dia sakiti hatinya. Lelaki yang hatinya sedang memerah itu. Lelaki yang masih menganut paham kesopanan dan kelembutan yang gagah. 

            “Maaf, aku masih setia untuk bersedia. Jika kesempatan kedua memang ada, aku mau pernikahan kita legal, halal, dan benar.” Suara Lin begitu penuh harap. Dari seberang, suara lelaki berdarah Jawa itu meyakini satu hal; kesempatan kedua memang masih ada.
            Lin menatap langit-langit kamarnya. Gundah ialah proses untuk kembali cerah. Dan suara lelaki bersarung coklat seolah menyusup diam-diam ke kamarnya.

            “Mungkin garis tangan lebih berpihak demikian – perpisahan, sebuah jarak dengan semak yang belukar dan dinding dingin yang menjulang. Ya, semoga apa yang memerihkan ayah dan ibumu hanya berhenti di hati keduanya saja. Semoga kebahagiaan dalam pernikahanmu kelak adalah mimpi yang ayah dan ibumu pernah rancang.”
            Kalimatnya seakan menguap di udara, di ubun-ubun kepala Lin yang telah hangat. Lalu kata terakhirnya ialah jawaban luhur yang ingin dia sampaikan dari bawah kolong bumi ini pada Sang Pemilik Segalanya; aamiin.

*Juara II lomba menulis cerpen di ABSTRA, 05 Juni 2015
           
             

Minggu, 18 Januari 2015

Epilog Masa Lalu

DUA cangkir teh hangat berdiri gagah di atas meja. Seolah mengajak kami meneguk percakapan yang memang tak pernah berbunyi sebelumnya. Ini adalah kali pertama kami sedekat ini, jarak sekitar 500 cm yang mengungkap seperti apa wajahnya. Ada sedikit guratan keriput di bawah kantong matanya yang kecokelatan. Tubuh kurusnya membuat miris, membuat tanya antre keluar kemana-mana. Mungkin dia memikul banyak pikiran atau tebakanku sempurna meleset, usianya sudah kepala empat. Kami sama-sama mematung diam, tak berani memulai bicara, otakku membongkar berbagai jenis pertanyaan, namun hati yang menjadi lawan selalu mencegah mulutku untuk memuntahkan.

”Lihatlah lelaki di depanmu itu, ayah yang sudah menua. Pandang dia.” Seorang lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku menunjuk lelaki di hadapanku. Kami bertatap muka, lelaki di hadapanku tersenyum kecil, aku membalas tersenyum yang juga entah kecil atau getir. Aku bahkan menjadi limbung, tak dapat memastikan sendiri senyumku.
Aku mengangguk pada lelaki bersarung cokelat, satu tanda bahwa aku sudah sedari tadi memperhatikan lelaki di hadapanku itu, tepatnya adalah menghafal wajah ayah.

”Dulu ayahmu tak mau meninggalkanmu, hanya saja takdir menggariskannya demikian.” Lelaki bersarung cokelat melanjutkan.
Aku mengangguk saja, tak mampu mengungkap kebenaran antara setuju atau mencecar pertanyaan, lalu mengapa akhirnya pergi? Atau, kenapa harus menyalahkan takdir? Aku hanya mengangguk seperti kucing rumahan yang mau saja ditawari sisa tulang ikan.
Lagi-lagi, ayah hanya berkawan hening. Sesekali meneguk teh yang tak lagi hangat. Pertemuan kami juga tak lagi berkirim bau kehangatan.

Lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku kembali bersuara, matanya menerawang jauh ke masa dimana aku lahir, lalu balita, dan berhenti sampai aku mengenal sekolah.
”Dulu ayahmu ingin mengasuhmu, tapi ternyata hak asuh itu jatuh ke tangan ibumu. Lagi pula, aku setuju, karena ayahmu saat itu tak punya pekerjaan tetap.”
Aku mendengarkan apa yang lelaki bersarung cokelat itu sampaikan, mengangguk lagi untuk yang kesekian kali. Kulihat ayah juga mengangguk, seperti menyetujui bahwa dulu dia pernah berniat mengasuhku.

Lelaki bersarung cokelat menggiringku ke masa yang seharusnya aku bisa memilih, menanyakan segalanya dan juga berdiri atas nama keadilan. Namun sayangnya, saat itu aku benar-benar hanya seorang bayi yang masih merah. Hati ini ingin bertanya sebab musabab apa yang membuat segala kasih sayang itu seharusnya tak pernah terampas, namun otakku selalu menjadi sekat untuk menoleh ke tugas utama—di sini aku hanya menemui ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Teh di tanganku menjadi pendingin untuk hati yang mulai panas dan pertemuan yang sedikit memanas. Tegukan pertama untuk keberanianku menemui ayah, tegukan berikutnya untuk masa lalu yang menyeruak kembali, dan tegukan terakhir untuk segala tanya yang hanya membuat penuh otak saja. Habis sudah secangkir teh dalam tiga tegukan berturut-turut, namun cerita ternyata belum usai.

”Kamu bisa ke sini kapan pun kamu mau, kami senang menerimamu. Namun, suguhan hanya sederhana, hanya cukup membuat basah mulut saja.” Lelaki bersarung cokelat tertawa, tawanya menetralisasi bau masa lalu yang membuat panas udara. Aku ikut tertawa, bukan karena humor yang lucu, melainkan aku menertawakan diriku sendiri, lihatlah diriku ini dengan berani dan percaya diri bisa duduk berhadapan dengan lelaki yang namanya asing sekali dipanggil ayah.

”Sudah lama ayahmu ingin tahu seperti apa kamu, sudah 20 tahun. Kamu sudah begitu dewasa untuk mempertanyakan kembali semua kenyataan ini, aku yakin kamu sudah mengerti.”
Aku hanya tak setuju dengan apa yang baru saja lelaki bersarung cokelat itu katakan. Lantas, jika aku sudah mengerti, mengapa kelebat pertanyaan masih saja mengambang dan membuat pengap? Lantas, jika aku sudah berusia 20 tahun, apa aku telah cukup dewasa untuk memahami apa arti ditinggalkan? Sebab usia bukanlah jaminan kedewasaan seseorang. Hanya saja, jika boleh menyampaikan, lelaki bersarung cokelat itu sendiri yang tak benar-benar dewasa, menawar rasa sakit dengan meyakinkan kedewasaan seseorang. Itu sangat menyedihkan.

Aku hanya berani mengangguk, kembali pada tugas utama semenjak kakiku dengan mantap melangkah ke rumah ini—di sini aku hanya menemui ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Kemudian kami sunyi untuk beberapa menit, hanya saja suara bising lalat sesekali lewat. Bisingnya lebih merdu daripada parau masa lalu yang digali lagi, padahal telah nyaman ia tertimbun di dalam. Bau masa lalu membuatku menutup hidung, aku memang benci bila masa lalu dibangunkan kembali, padahal sebelumnya ia amat lelap dalam mimpinya. Tak seharusnya tangan manusia mengganggu kenyenyakan tidurnya, sebab kalian tak akan tahu seperti apa bau yang akan ia bagi. Boleh jadi ia membuat nyaman, atau boleh jadi ia membuatmu sesak napas.

”Kemarin-kemarin kamu tahu kan jika kamu itu punya ayah?”
”Iya…” Suaraku mantap keluar untuk yang pertama kalinya sejak satu jam lebih kutahan agar bentuknya tak kacau. Sebenarnya jawaban iya mungkin saja akan bertambah dengan dong atau lah, hanya saja aku menahannya untuk tidak menyerbu keluar. Sebab nadanya akan berubah menggetirkan telinga. Sebab pula aku masih ingat apa tugas utamaku datang ke sini. Lelaki bersarung cokelat menganggapku tak peduli dengan ayah, dia hanya tidak tahu wajah keingintahuan dan ketakutanku untuk bertemu ayah. Keingintahuanku adalah mengenai cerita orang-orang di sekelilingku yang menyebut ini-itu tentang ayah. Sedang ketakutanku adalah tentang perasaan yang mengaduk emosiku, ada kemarahan, kebencian, atau apalah namanya yang mungkin akan kumuntahkan di hadapannya jika kami bertemu. Tidakkah lelaki bersarung cokelat itu mengerti tentang perdamaianku dengan waktu untuk bisa membuka tangan demi merangkul masa lalu? Tidakkah dia bisa menghitung berapa banyak hari yang harus aku siapkan untuk bisa benar-benar duduk dengan ayah sedekat ini?

Proses ini sungguh melelahkan, aku harus tak mengutus emosi untuk ikut bersamaku, aku juga harus membujuk hati dan kaki untuk saling bersama-sama berjabat tangan agar mudah untukku melangkah ke rumah ini. Lihatlah, ini tak semudah ketika kalian membuka buku lalu membacanya. Ini tak semudah menciumi punggung tangan ayahmu yang sejak lahir telah satu atap denganmu, dedangkan aku harus bisa mencari dan menemukan siapa itu ayah, siapa itu ayahku, dan siapa itu aku dan ayah.

”Lalu, kenapa kamu baru menemui ayah sekarang?” Suara ayah untuk yang pertama kalinya kudengar langsung menusuk ke gendang telingaku, tepat menembus sel-sel di tubuhku. Dia membunuh semua niat baikku untuk menemuinya. Ternyata menemuinya sekarang tak begitu ternilai sebagai suatu niat baik seorang anak yang dari dulu ingin sekali sedekat ini, hanya saja tak tahu bagaimana cara memulainya.
”Dan kenapa ayah juga tak pernah menemuiku? Bahkan sekarang aku yang menemuimu untuk yang pertama kali.” Aku punya hak untuk mengeluarkan pertanyaan yang sama, sebab kami memang sama-sama saling melupakan. Aku mununduk, tak mampu menatap rupa pertemuan ini, rupa lelaki bersarung cokelat, dan rupa ayah di hadapanku.
”Ayah maaf untuk yang lalu, jika kamu berpikir aku melupakanmu. Tapi, aku juga takkan mengemis maafmu, jika memang benar kamu yang malah melupakanku.” Aku menghela napas. Mencoba menidurkan kalimatku dengan benar, agar tak kacau terbungkus emosi. Sebab di sini aku hanya ingin menemui ayah. Aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.

            Ayah dan lelaki bersarung cokelat menunduk hening. Selebihnya suara bising lalat yang sesekali lewat.

Kamal, 30 Nopember 2014


dimuat di Radar Madura tgl 07 Desember 2014