DUA cangkir teh hangat berdiri gagah di atas meja. Seolah
mengajak kami meneguk percakapan yang memang tak pernah berbunyi
sebelumnya. Ini adalah kali pertama kami sedekat ini, jarak sekitar 500
cm yang mengungkap seperti apa wajahnya. Ada sedikit guratan keriput di
bawah kantong matanya yang kecokelatan. Tubuh kurusnya membuat miris,
membuat tanya antre keluar kemana-mana. Mungkin dia memikul banyak
pikiran atau tebakanku sempurna meleset, usianya sudah kepala empat.
Kami sama-sama mematung diam, tak berani memulai bicara, otakku
membongkar berbagai jenis pertanyaan, namun hati yang menjadi lawan
selalu mencegah mulutku untuk memuntahkan.
”Lihatlah lelaki di depanmu itu, ayah yang sudah menua. Pandang dia.”
Seorang lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku menunjuk lelaki di
hadapanku. Kami bertatap muka, lelaki di hadapanku tersenyum kecil, aku
membalas tersenyum yang juga entah kecil atau getir. Aku bahkan menjadi
limbung, tak dapat memastikan sendiri senyumku.
Aku mengangguk pada lelaki bersarung cokelat, satu tanda bahwa aku
sudah sedari tadi memperhatikan lelaki di hadapanku itu, tepatnya adalah
menghafal wajah ayah.
”Dulu ayahmu tak mau meninggalkanmu, hanya saja takdir menggariskannya demikian.” Lelaki bersarung cokelat melanjutkan.
Aku mengangguk saja, tak mampu mengungkap kebenaran antara setuju
atau mencecar pertanyaan, lalu mengapa akhirnya pergi? Atau, kenapa
harus menyalahkan takdir? Aku hanya mengangguk seperti kucing rumahan
yang mau saja ditawari sisa tulang ikan.
Lagi-lagi, ayah hanya berkawan hening. Sesekali meneguk teh yang tak
lagi hangat. Pertemuan kami juga tak lagi berkirim bau kehangatan.
Lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku kembali bersuara, matanya
menerawang jauh ke masa dimana aku lahir, lalu balita, dan berhenti
sampai aku mengenal sekolah.
”Dulu ayahmu ingin mengasuhmu, tapi ternyata hak asuh itu jatuh ke
tangan ibumu. Lagi pula, aku setuju, karena ayahmu saat itu tak punya
pekerjaan tetap.”
Aku mendengarkan apa yang lelaki bersarung cokelat itu sampaikan,
mengangguk lagi untuk yang kesekian kali. Kulihat ayah juga mengangguk,
seperti menyetujui bahwa dulu dia pernah berniat mengasuhku.
Lelaki bersarung cokelat menggiringku ke masa yang seharusnya aku
bisa memilih, menanyakan segalanya dan juga berdiri atas nama keadilan.
Namun sayangnya, saat itu aku benar-benar hanya seorang bayi yang masih
merah. Hati ini ingin bertanya sebab musabab apa yang membuat segala
kasih sayang itu seharusnya tak pernah terampas, namun otakku selalu
menjadi sekat untuk menoleh ke tugas utama—di sini aku hanya menemui
ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Teh di tanganku menjadi pendingin untuk hati yang mulai panas dan
pertemuan yang sedikit memanas. Tegukan pertama untuk keberanianku
menemui ayah, tegukan berikutnya untuk masa lalu yang menyeruak kembali,
dan tegukan terakhir untuk segala tanya yang hanya membuat penuh otak
saja. Habis sudah secangkir teh dalam tiga tegukan berturut-turut, namun
cerita ternyata belum usai.
”Kamu bisa ke sini kapan pun kamu mau, kami senang menerimamu. Namun,
suguhan hanya sederhana, hanya cukup membuat basah mulut saja.” Lelaki
bersarung cokelat tertawa, tawanya menetralisasi bau masa lalu yang
membuat panas udara. Aku ikut tertawa, bukan karena humor yang lucu,
melainkan aku menertawakan diriku sendiri, lihatlah diriku ini dengan
berani dan percaya diri bisa duduk berhadapan dengan lelaki yang namanya
asing sekali dipanggil ayah.
”Sudah lama ayahmu ingin tahu seperti apa kamu, sudah 20 tahun. Kamu
sudah begitu dewasa untuk mempertanyakan kembali semua kenyataan ini,
aku yakin kamu sudah mengerti.”
Aku hanya tak setuju dengan apa yang baru saja lelaki bersarung
cokelat itu katakan. Lantas, jika aku sudah mengerti, mengapa kelebat
pertanyaan masih saja mengambang dan membuat pengap? Lantas, jika aku
sudah berusia 20 tahun, apa aku telah cukup dewasa untuk memahami apa
arti ditinggalkan? Sebab usia bukanlah jaminan kedewasaan seseorang.
Hanya saja, jika boleh menyampaikan, lelaki bersarung cokelat itu
sendiri yang tak benar-benar dewasa, menawar rasa sakit dengan
meyakinkan kedewasaan seseorang. Itu sangat menyedihkan.
Aku hanya berani mengangguk, kembali pada tugas utama semenjak kakiku
dengan mantap melangkah ke rumah ini—di sini aku hanya menemui ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Kemudian kami sunyi untuk beberapa menit, hanya saja suara bising
lalat sesekali lewat. Bisingnya lebih merdu daripada parau masa lalu
yang digali lagi, padahal telah nyaman ia tertimbun di dalam. Bau masa
lalu membuatku menutup hidung, aku memang benci bila masa lalu
dibangunkan kembali, padahal sebelumnya ia amat lelap dalam mimpinya.
Tak seharusnya tangan manusia mengganggu kenyenyakan tidurnya, sebab
kalian tak akan tahu seperti apa bau yang akan ia bagi. Boleh jadi ia
membuat nyaman, atau boleh jadi ia membuatmu sesak napas.
”Kemarin-kemarin kamu tahu kan jika kamu itu punya ayah?”
”Iya…” Suaraku mantap keluar untuk yang pertama kalinya sejak satu
jam lebih kutahan agar bentuknya tak kacau. Sebenarnya jawaban iya mungkin saja akan bertambah dengan dong atau lah,
hanya saja aku menahannya untuk tidak menyerbu keluar. Sebab nadanya
akan berubah menggetirkan telinga. Sebab pula aku masih ingat apa tugas
utamaku datang ke sini. Lelaki bersarung cokelat menganggapku tak peduli
dengan ayah, dia hanya tidak tahu wajah keingintahuan dan ketakutanku
untuk bertemu ayah. Keingintahuanku adalah mengenai cerita orang-orang
di sekelilingku yang menyebut ini-itu tentang ayah. Sedang ketakutanku
adalah tentang perasaan yang mengaduk emosiku, ada kemarahan, kebencian,
atau apalah namanya yang mungkin akan kumuntahkan di hadapannya jika
kami bertemu. Tidakkah lelaki bersarung cokelat itu mengerti tentang
perdamaianku dengan waktu untuk bisa membuka tangan demi merangkul masa
lalu? Tidakkah dia bisa menghitung berapa banyak hari yang harus aku
siapkan untuk bisa benar-benar duduk dengan ayah sedekat ini?
Proses ini sungguh melelahkan, aku harus tak mengutus emosi untuk
ikut bersamaku, aku juga harus membujuk hati dan kaki untuk saling
bersama-sama berjabat tangan agar mudah untukku melangkah ke rumah ini.
Lihatlah, ini tak semudah ketika kalian membuka buku lalu membacanya.
Ini tak semudah menciumi punggung tangan ayahmu yang sejak lahir telah
satu atap denganmu, dedangkan aku harus bisa mencari dan menemukan siapa
itu ayah, siapa itu ayahku, dan siapa itu aku dan ayah.
”Lalu, kenapa kamu baru menemui ayah sekarang?” Suara ayah untuk yang
pertama kalinya kudengar langsung menusuk ke gendang telingaku, tepat
menembus sel-sel di tubuhku. Dia membunuh semua niat baikku untuk
menemuinya. Ternyata menemuinya sekarang tak begitu ternilai sebagai
suatu niat baik seorang anak yang dari dulu ingin sekali sedekat ini,
hanya saja tak tahu bagaimana cara memulainya.
”Dan kenapa ayah juga tak pernah menemuiku? Bahkan sekarang aku yang
menemuimu untuk yang pertama kali.” Aku punya hak untuk mengeluarkan
pertanyaan yang sama, sebab kami memang sama-sama saling melupakan. Aku
mununduk, tak mampu menatap rupa pertemuan ini, rupa lelaki bersarung
cokelat, dan rupa ayah di hadapanku.
”Ayah maaf untuk yang lalu, jika kamu berpikir aku melupakanmu. Tapi,
aku juga takkan mengemis maafmu, jika memang benar kamu yang malah
melupakanku.” Aku menghela napas. Mencoba menidurkan kalimatku dengan
benar, agar tak kacau terbungkus emosi. Sebab di sini aku hanya ingin
menemui ayah. Aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Ayah dan lelaki bersarung cokelat menunduk hening. Selebihnya suara bising lalat yang sesekali lewat.
Kamal, 30 Nopember 2014
dimuat di Radar Madura tgl 07 Desember 2014