Minggu, 18 Januari 2015

Epilog Masa Lalu

DUA cangkir teh hangat berdiri gagah di atas meja. Seolah mengajak kami meneguk percakapan yang memang tak pernah berbunyi sebelumnya. Ini adalah kali pertama kami sedekat ini, jarak sekitar 500 cm yang mengungkap seperti apa wajahnya. Ada sedikit guratan keriput di bawah kantong matanya yang kecokelatan. Tubuh kurusnya membuat miris, membuat tanya antre keluar kemana-mana. Mungkin dia memikul banyak pikiran atau tebakanku sempurna meleset, usianya sudah kepala empat. Kami sama-sama mematung diam, tak berani memulai bicara, otakku membongkar berbagai jenis pertanyaan, namun hati yang menjadi lawan selalu mencegah mulutku untuk memuntahkan.

”Lihatlah lelaki di depanmu itu, ayah yang sudah menua. Pandang dia.” Seorang lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku menunjuk lelaki di hadapanku. Kami bertatap muka, lelaki di hadapanku tersenyum kecil, aku membalas tersenyum yang juga entah kecil atau getir. Aku bahkan menjadi limbung, tak dapat memastikan sendiri senyumku.
Aku mengangguk pada lelaki bersarung cokelat, satu tanda bahwa aku sudah sedari tadi memperhatikan lelaki di hadapanku itu, tepatnya adalah menghafal wajah ayah.

”Dulu ayahmu tak mau meninggalkanmu, hanya saja takdir menggariskannya demikian.” Lelaki bersarung cokelat melanjutkan.
Aku mengangguk saja, tak mampu mengungkap kebenaran antara setuju atau mencecar pertanyaan, lalu mengapa akhirnya pergi? Atau, kenapa harus menyalahkan takdir? Aku hanya mengangguk seperti kucing rumahan yang mau saja ditawari sisa tulang ikan.
Lagi-lagi, ayah hanya berkawan hening. Sesekali meneguk teh yang tak lagi hangat. Pertemuan kami juga tak lagi berkirim bau kehangatan.

Lelaki bersarung cokelat di sebelah kananku kembali bersuara, matanya menerawang jauh ke masa dimana aku lahir, lalu balita, dan berhenti sampai aku mengenal sekolah.
”Dulu ayahmu ingin mengasuhmu, tapi ternyata hak asuh itu jatuh ke tangan ibumu. Lagi pula, aku setuju, karena ayahmu saat itu tak punya pekerjaan tetap.”
Aku mendengarkan apa yang lelaki bersarung cokelat itu sampaikan, mengangguk lagi untuk yang kesekian kali. Kulihat ayah juga mengangguk, seperti menyetujui bahwa dulu dia pernah berniat mengasuhku.

Lelaki bersarung cokelat menggiringku ke masa yang seharusnya aku bisa memilih, menanyakan segalanya dan juga berdiri atas nama keadilan. Namun sayangnya, saat itu aku benar-benar hanya seorang bayi yang masih merah. Hati ini ingin bertanya sebab musabab apa yang membuat segala kasih sayang itu seharusnya tak pernah terampas, namun otakku selalu menjadi sekat untuk menoleh ke tugas utama—di sini aku hanya menemui ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Teh di tanganku menjadi pendingin untuk hati yang mulai panas dan pertemuan yang sedikit memanas. Tegukan pertama untuk keberanianku menemui ayah, tegukan berikutnya untuk masa lalu yang menyeruak kembali, dan tegukan terakhir untuk segala tanya yang hanya membuat penuh otak saja. Habis sudah secangkir teh dalam tiga tegukan berturut-turut, namun cerita ternyata belum usai.

”Kamu bisa ke sini kapan pun kamu mau, kami senang menerimamu. Namun, suguhan hanya sederhana, hanya cukup membuat basah mulut saja.” Lelaki bersarung cokelat tertawa, tawanya menetralisasi bau masa lalu yang membuat panas udara. Aku ikut tertawa, bukan karena humor yang lucu, melainkan aku menertawakan diriku sendiri, lihatlah diriku ini dengan berani dan percaya diri bisa duduk berhadapan dengan lelaki yang namanya asing sekali dipanggil ayah.

”Sudah lama ayahmu ingin tahu seperti apa kamu, sudah 20 tahun. Kamu sudah begitu dewasa untuk mempertanyakan kembali semua kenyataan ini, aku yakin kamu sudah mengerti.”
Aku hanya tak setuju dengan apa yang baru saja lelaki bersarung cokelat itu katakan. Lantas, jika aku sudah mengerti, mengapa kelebat pertanyaan masih saja mengambang dan membuat pengap? Lantas, jika aku sudah berusia 20 tahun, apa aku telah cukup dewasa untuk memahami apa arti ditinggalkan? Sebab usia bukanlah jaminan kedewasaan seseorang. Hanya saja, jika boleh menyampaikan, lelaki bersarung cokelat itu sendiri yang tak benar-benar dewasa, menawar rasa sakit dengan meyakinkan kedewasaan seseorang. Itu sangat menyedihkan.

Aku hanya berani mengangguk, kembali pada tugas utama semenjak kakiku dengan mantap melangkah ke rumah ini—di sini aku hanya menemui ayah. Di sini aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.
Kemudian kami sunyi untuk beberapa menit, hanya saja suara bising lalat sesekali lewat. Bisingnya lebih merdu daripada parau masa lalu yang digali lagi, padahal telah nyaman ia tertimbun di dalam. Bau masa lalu membuatku menutup hidung, aku memang benci bila masa lalu dibangunkan kembali, padahal sebelumnya ia amat lelap dalam mimpinya. Tak seharusnya tangan manusia mengganggu kenyenyakan tidurnya, sebab kalian tak akan tahu seperti apa bau yang akan ia bagi. Boleh jadi ia membuat nyaman, atau boleh jadi ia membuatmu sesak napas.

”Kemarin-kemarin kamu tahu kan jika kamu itu punya ayah?”
”Iya…” Suaraku mantap keluar untuk yang pertama kalinya sejak satu jam lebih kutahan agar bentuknya tak kacau. Sebenarnya jawaban iya mungkin saja akan bertambah dengan dong atau lah, hanya saja aku menahannya untuk tidak menyerbu keluar. Sebab nadanya akan berubah menggetirkan telinga. Sebab pula aku masih ingat apa tugas utamaku datang ke sini. Lelaki bersarung cokelat menganggapku tak peduli dengan ayah, dia hanya tidak tahu wajah keingintahuan dan ketakutanku untuk bertemu ayah. Keingintahuanku adalah mengenai cerita orang-orang di sekelilingku yang menyebut ini-itu tentang ayah. Sedang ketakutanku adalah tentang perasaan yang mengaduk emosiku, ada kemarahan, kebencian, atau apalah namanya yang mungkin akan kumuntahkan di hadapannya jika kami bertemu. Tidakkah lelaki bersarung cokelat itu mengerti tentang perdamaianku dengan waktu untuk bisa membuka tangan demi merangkul masa lalu? Tidakkah dia bisa menghitung berapa banyak hari yang harus aku siapkan untuk bisa benar-benar duduk dengan ayah sedekat ini?

Proses ini sungguh melelahkan, aku harus tak mengutus emosi untuk ikut bersamaku, aku juga harus membujuk hati dan kaki untuk saling bersama-sama berjabat tangan agar mudah untukku melangkah ke rumah ini. Lihatlah, ini tak semudah ketika kalian membuka buku lalu membacanya. Ini tak semudah menciumi punggung tangan ayahmu yang sejak lahir telah satu atap denganmu, dedangkan aku harus bisa mencari dan menemukan siapa itu ayah, siapa itu ayahku, dan siapa itu aku dan ayah.

”Lalu, kenapa kamu baru menemui ayah sekarang?” Suara ayah untuk yang pertama kalinya kudengar langsung menusuk ke gendang telingaku, tepat menembus sel-sel di tubuhku. Dia membunuh semua niat baikku untuk menemuinya. Ternyata menemuinya sekarang tak begitu ternilai sebagai suatu niat baik seorang anak yang dari dulu ingin sekali sedekat ini, hanya saja tak tahu bagaimana cara memulainya.
”Dan kenapa ayah juga tak pernah menemuiku? Bahkan sekarang aku yang menemuimu untuk yang pertama kali.” Aku punya hak untuk mengeluarkan pertanyaan yang sama, sebab kami memang sama-sama saling melupakan. Aku mununduk, tak mampu menatap rupa pertemuan ini, rupa lelaki bersarung cokelat, dan rupa ayah di hadapanku.
”Ayah maaf untuk yang lalu, jika kamu berpikir aku melupakanmu. Tapi, aku juga takkan mengemis maafmu, jika memang benar kamu yang malah melupakanku.” Aku menghela napas. Mencoba menidurkan kalimatku dengan benar, agar tak kacau terbungkus emosi. Sebab di sini aku hanya ingin menemui ayah. Aku hanya ingin berjabat dengan masa lalu.

            Ayah dan lelaki bersarung cokelat menunduk hening. Selebihnya suara bising lalat yang sesekali lewat.

Kamal, 30 Nopember 2014


dimuat di Radar Madura tgl 07 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar