Musim
ini, tiba-tiba Lin ingin sekali sendirian. Mengurung gundah yang mungkin saja
bisa membuatnya kembali cerah. Tentang penarikan undangan, pembatalan WO, blacklist baju pengantin, dan tak pernah
ada yang namanya pernikahan – semua dia timbun dalam-dalam. Bukan di hatinya,
tapi dalam kenangan.
“Maaf
aku takut salah melangkah. Karena itu aku ragu untuk menapaki tanah yang
berbeda, tanah yang baru.” Pesan singkat itu dia kirim pada calon suaminya.
Calon suami yang sebulan lagi akan sah dan halal mendampinginya. Tak ada yang
salah dengan lelaki berdarah Jawa itu, lelaki yang menganut paham kesopanan dan
kelembutan yang gagah. Hanya saja, seminggu yang lalu, ketika dia mencari
gunting di laci kamar ibunya, ketika itu album merah muda dengan corak
bergambar hati tak bisa dia abaikan begitu saja. Lin meraihnya, membukanya, dan
menahan air matanya.
Sebuah
foto usang pernikahan ayah dan ibunya. Kebaya putih yang pernah memerihkan hati
ibunya. Polesan bedak tebal yang pernah memoles cinta dengan begitu anggun. Lin
meraba wajah ayahnya. Lelaki yang dulu dan hingga sekarang begitu asing
baginya. Bahkan untuk memanggilnya dengan sebutan ayah pun, dia merasa ada
sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Padahal lelaki itu ialah lelaki yang
(masih) mengalirkan darah yang sama dengannya.
Lin
mengingat suatu pertemuan dengan ayahnya. Padahal dia ingin sekali melupakan.
Namun terlanjur percaya kalimat orang bijak, semakin besar engkau melupakan
sesuatu, maka semakin besar pula engkau akan mengingatnya. Dan Lin pun
menggangguk setuju.
Ketika
itu, Mei belum sempurna berakhir. Masih tersisa episode April yang anyir, tanggal yang terbirit tunggang langgang,
jam-jam yang berdetak tunggal, dan menit yang sesekali berderit lengang. Semua
masih Lin ingat. Begitu jelas merayap. Barangkali, ya, barangkali memang benar.
Lin menghela napas dalam-dalam, April baginya ialah bab sunyi yang tak pernah
lekang. Bab sunyi dengan tiga cangkir teh hangat di depannya. Satu untuk dia
sendiri, satu untuk lelaki bersarung coklat, dan sisanya milik ayahnya.
Sebenarnya ada ribuan alasan kenapa dia harus duduk sedekat itu dengan ayahnya.
Namun jiwanya selalu merajuk tentang kehilangan dan terlupakan. Di antara dia
dan ayahnya, sebenarnya siapa yang telah kehilangan? Pertanyaan itu selalu
mengepul bak asap tungku yang membuat perih mata. Pertanyaan itu memang selalu
mengepul bak asap tungku yang mengundang perih di lukanya yang tak pernah
kering. Ayahnya kah yang telah kehilangan buah hati dengan segala rengekan
manja itu? Atau malah dia yang benar-benar kehilangan dekapan hangat ayahnya? Dan
siapa yang melupakan siapa? Atau mereka memang saling melupakan? Maka, untuk
tapak kakinya yang telah berani melangkah ke rumah itu, dengan mantap
harapannya selalu merayap – semoga, dan semoga, semoga dia dan ayahnya saling
kehilangan satu sama lain. Semoga rasa kehilangan ada dan dimiliki oleh
keduanya. Semoga dalam diam, kesunyian yang selalu teraba lewat do’a, diam-diam
mereka saling mengingat.
“Minumlah
selagi teh ini masih hangat.” Tiba-tiba suara lelaki bersarung coklat
membangunkan lamunannya yang hampir lelap. Wajahnya seperti kecemasan yang
belum tuntas ketika membersamai sosok imam yang seharusnya memang seatap. Lin
melihat ke arah muasal suara itu
dilepaskan – lelaki bersarung coklat tersenyum. Senyum yang sungguh, ingin
sekali Lin gunting kecil-kecil. Namun entah, kepalanya lebih dahulu mengangguk
pelan. Dan kemudian diambilnya secangkir teh yang katanya masih hangat itu,
diteguknya sedikit. Namun lidahnya terasa pahit. Dia butuh beberapa sendok gula
lagi. Dia butuh rasa manisnya di tengah perbincangan itu.
Ayahnya
serupa bangkai kapal yang menahan aksara, padahal saksi sejarah selalu
memaksanya untuk terbuka. Sesekali diteguknya teh itu dari tangan kanannya.
Sesekali dilihatnya bayi yang dulu pernah dia larikan setelah sembilan bulan
terpenjara dalam rahim mantan istrinya, namun gagal dia bawa pulang. Sesekali
dipasangnya dengan tepat telinga kanan-kirinya untuk menyelinap pada
perbincangan antara lelaki bersarung coklat dan bayinya yang telah beranjak
dewasa.
“Apa
yang telah membawamu kesini?” suara itu kini Lin hafal muasalnya.
“Kehilangan.”
“Hanya
itu?”
“Sosok
imam.”
“Terus?”
Tak
ada jawaban lagi dari mulut Lin, padahal yang ingin sekali keluar adalah, “dilupakan
dan terlupakan juga telah membawaku kesini.” Namun keganjilan di lidahnya
adalah kesalahan yang sangat fatal. Keganjilan yang mengajaknya untuk
menggelengkan kepala. “Tak ada.” Jawabnya begitu bersalah. Pada dirinya sendiri
dan waktu yang terus melahap tik tok jarum jam.
Lelaki
bersarung coklat tertawa, tawa yang meringis. Tawa yang mengiris. Ayahnya
tersenyum, senyum yang kecil. Senyum yang getir.
“Rupanya
kamu masih ingat siapa ayahmu, siapa aku, dan siapa kita, kan?” lelaki itu diam
sejenak seperti sedang mengambil napas, namun juga seperti menggali kenangan,
“saat itu kamu masih bayi yang hanya bisa menangis saja, saat itu juga
kesalahan tak sepenuhnya harus dilimpahkan pada ayahmu. Ada orang-orang yang
membuat ayah dan ibumu seperti air dan daun talas.”
Ah,
masa lalu yang sudah masa bodoh itu. Seharusnya lelaki bersarung coklat
menimbunnya saja tanpa harus menggali ulang segalanya yang telah rata bersama
tanah. Batin Lin mengutuk.
Sebab
bagi Lin, telinganya tak cukup menampung gundah, kekalutan, resah yang memerah,
masa lalu yang lebam ungu kebiruan, segala luka yang seharusnya telah
disembuhkan. Ketika di timur, nama ayahnya ialah gunjingan rasa bersalah.
Kembali ke barat, nama ibunya selalu menguap menjadi sebab. Ketika utara
mungkin menyediakan tempat, ternyata nama keduanya saling dibenturkan. Jadi,
Lin harus percaya siapa? Yang mana? Sementara hati Lin selalu mengirim sinyal
pada telinganya untuk memasang tuli pada segala luapan salah itu ditimpakan,
baik kepada ayah maupun ibunya.
Dan
saat ini, ketika lelaki itu berkoar-koar tentang siapa yang tepat ditimpakan
label salah, hati Lin mengirim sinyal pada telinganya untuk siap memasang tuli
dengan tepat. Karena bagi Lin, keputusan untuk tidak bersama adalah kesalahan
yang juga diolah bersama – oleh ayah dan ibunya. Jika tidak ada api, tak
mungkin kebakaran itu tersulut serius. Jika tak pernah ada hujan, tak mungkin
tanah-tanah itu basah. Maka tak mungkin jika tidak pernah ada kesepakan untuk saling
berpisah.
“Mungkin
garis tangan lebih berpihak demikian – perpisahan, sebuah jarak dengan semak
yang belukar dan dinding dingin yang menjulang. Ya, semoga apa yang memerihkan
ayah dan ibumu hanya berhenti di hati keduanya saja. Semoga kebahagiaan dalam
pernikahanmu kelak adalah mimpi yang ayah dan ibumu pernah rancang.”
Kalimatnya
menguap di udara, di ubun-ubun kepala Lin yang mulai hangat. Lalu kata
terakhirnya ialah jawaban luhur yang ingin dia sampaikan dari bawah kolong bumi
ini pada Sang Pemilik Segalanya; aamiin.
“Datanglah
sesukamu. Pintu ini tak pernah terkunci untukmu.”
Lin
mengangguk. Namun ayahnya masih saja menjelma serupa bangkai kapal yang begitu
khidmat menjadi pendengar.
“Ayah..”
Duhai, ada duri yang menusuk lidahnya ketika panggilan asing itu ditiupkan.
Panggilan yang seharusnya terucapkan sejak dia telah mengenal kata. Dari
seberang, ayahnya melihat tepat ke wajahnya. Di mata ayahnya, aksara itu tak
seharusnya hanya mendekam saja. Ayolah katakan apa saja, tentang rindu yang
mungkin telah lama kamu pasung, tentang kehilangan yang begitu memar, tentang
melupakanku, langkahmu yang selalu gontai untuk menemuiku sejak dulu, perhatian
yang belum pernah kamu genapi, kasih sayang yang belum lunas, juga tentang
ribuan jarak yang sebenarnya ingin kamu sumpal mulutnya. Ayo katakan Ayah. Suara batin Lin berloncatan dari nanar matanya
yang basah.
“Bicara
melupakan, kita tidak akan melupakan jika sebab musabab rasa sakit itu tak
pernah kita ingat. Bicara kehilangan, kita tidak akan pernah kehilangan bila
rasa memiliki itu tak pernah ada. Sedang ayah selalu ingat rasa sakit itu dan
rasanya ayah belum pernah memilikimu sebelumnya.”
Tak
ada yang tahu setelah kalimat ayahnya itu diucapkan, sebenarnya air mata Lin
mengucur dan turun satu-satu, bukan di kedua matanya, tapi di hatinya. Rasa
sakit itu begitu pelik. Padahal pada penutup pertemuan ini, Lin meyakini satu
kesimpulan, satu jawaban, dan satu-satunya akhir yang belum berakhir; rasa kehilangan
dan saling mengingat juga menghuni kediaman ayahnya, bukan hanya kepada Lin
saja.
Diteguknya
lagi teh di depannya, tegukan terakhir untuk segala tebakannya yang keliru.
Merah kecoklatan di dalam cangkir itu serupa air matanya, air matanya yang
banyak menyimpan tanya, namun jawaban seperti bangkai kapal di wajah ayahnya – kesunyian
yang membuat sakit telinga. Dan hukum sebab-akibat itu selalu dia percaya,
mengapa musim ini tiba-tiba dia ingin sekali sendirian. Mengurung gundah yang
mungkin saja bisa membuatnya kembali cerah. Tentang penarikan undangan,
pembatalan WO, blacklist baju
pengantin, dan tak pernah ada yang namanya pernikahan – semua dia timbun
dalam-dalam. Bukan di hatinya, tapi dalam kenangan. Sebab perpisahan selalu
menahannya untuk hati-hati melangkah, dan akibatnya dia ragu untuk memulai
sesuatu yang baru. Perpisahan kedua orang tuanya, keraguan dirinya untuk meretas
pernikahan. Namun kali ini, dia akan segera mengubur dalam-dalam segalanya
tentang kegagalan. Tentang penarikan undangan, pembatalan WO, blacklist baju pengantin, dan tak pernah
ada yang namanya pernikahan – dia akan menggelengkan kepalanya pada keputusan
yang belum sempurna bulat itu. Diambilnya hp yang tergeletak di atas meja,
dipilihnya kontak calon suami yang pernah dia sakiti hatinya. Lelaki yang
hatinya sedang memerah itu. Lelaki yang masih menganut paham kesopanan dan
kelembutan yang gagah.
“Maaf,
aku masih setia untuk bersedia. Jika kesempatan kedua memang ada, aku mau
pernikahan kita legal, halal, dan benar.” Suara Lin begitu penuh harap. Dari
seberang, suara lelaki berdarah Jawa itu meyakini satu hal; kesempatan kedua
memang masih ada.
Lin
menatap langit-langit kamarnya. Gundah ialah proses untuk kembali cerah. Dan
suara lelaki bersarung coklat seolah menyusup diam-diam ke kamarnya.
“Mungkin garis tangan lebih berpihak
demikian – perpisahan, sebuah jarak dengan semak yang belukar dan dinding
dingin yang menjulang. Ya, semoga apa yang memerihkan ayah dan ibumu hanya
berhenti di hati keduanya saja. Semoga kebahagiaan dalam pernikahanmu kelak
adalah mimpi yang ayah dan ibumu pernah rancang.”
Kalimatnya
seakan menguap di udara, di ubun-ubun kepala Lin yang telah hangat. Lalu kata
terakhirnya ialah jawaban luhur yang ingin dia sampaikan dari bawah kolong bumi
ini pada Sang Pemilik Segalanya; aamiin.
*Juara II lomba menulis cerpen di ABSTRA, 05 Juni
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar